Rabu, 18 Maret 2009

Eksak Vs Non-Eksak di setiap kelas Psikologi Pendidikan

Semester ini dapet mata kuliah umum Psikologi Pendidikan. Secara, jurusan yang saya ambil lebih konsentrasi ke pendidikan. Entah kenapa, jadwal kelas kami tabrakan dengan kelas lain di fakultas lain pula, Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi jurusan Pendidikan Sejarah. Maka, dengan sangat terpaksa, dosen yang mengampu meminta kami untuk satu ruangan selama satu semseter ke depan. Walhasil, setiap rabu pagi, anak2 sejarah pindahan ke kampus teknik untuk mengikuti mata kuliah umum yang satu ini.

Awalnya, berharap bisa cuci mata dengan adanya makhluk lelaki lain dari luar kelas. Bosen juga setiap hari yang di lihat Cuma itu ituuuu aja..haha..
Tapi ternyata, justru tidak lebih baik dari kaum adam yang ada di kelas saya.hoho... :p

Hari ini, kayanya udah pertemuan ke-4 kalau ngga salah. Kesan pertama melihat Ibu dosen yang mengajar mata kuliah ini, menurutku beliau kurang begitu sigap untuk mengatur kelas. Banyak yang ngobrol sendiri, suara beliau juga kurang keras sehingga kurang dapat ditangkap apa yang sedang dibicarakan. Apalagi kelas yang ditempati bisa digambarkan seperti bioskop. Kami—mahasiswa—duduk bertingkat, sedangkan dosen menerangkan di bawah, walaupun sesekali jalan menuju atas.

Yang ingin saya ungkapkan di sini bukan mengenai model pembelajaran seperti apa yang Ibu dosen berikan atau materi2 apa saja yang dipelajarai, melainkan tentang teman-teman saya, seluruh mahasiswa yang mengikuti kelas Psikologi Pendidikan setiap hari Rabu pagi di RT1 FT UNY.

Kami,yang ada di ruangan itu berasal dari latar belakang berbeda, maksud saya, ilmu yang dipelajari amat sangat bertolak belakang. Saya dan teman-teman selalu bertemu dengan bahasa pemrograman dan hampir seluruhnya bekerja dengan logika serta penuh ketelitian, sedangkan teman kami dari kelas lain itu setiap harinya belajar mengenai masa-masa perang dunia dan perjalanan pahlawan2 tempo doeloe serta bagaimana Indonesia mencapai kemerdekaan. Mereka lebih sering membaca, menghafal, mengungkapkan, kemudian bercerita. Sedangkan kami harus benar-benar paham, sering praktikum hingga hari sudah gelap, tak harus menghafal yang penting tau, dan sering stress dengan flowchart atau mempelajari sebuah jaringan komputer.

Semua perbedaan itu memang tidak mencolok jika dilihat hanya dengan kasat mata. Duduk manis, mendengarkan penjelasan dosen, selesai.
Tapi yang terlihat mencolok—setidaknya menurut kacamata ku—adalah proses yang terjadi di dalamnya. Betapa tinggi antusiasme kelas sejarah mengikuti mata kuliah ini dibandingkan kelas saya. Bisa dilihat dengan komentar-komentar kecil yang selalu keluar dari mulut teman-teman kelas sejarah di tengah2 penjelasan dosen. Walaupun terkadang ada beberapa komentar yang ngga penting bahkan sedikit mengganggu, tapi paling tidak mereka telah membuat setiap kelas Psikologi Pendidikan kami menjadi ramai, tidak membosankan. Pun ketika sang dosen membuka kesempatan bertanya, jika dibandingkan, dari kubu sejarah pasti lebih banyak yang bertanya daripada kubu kami, informatika.

Apa ini bukti dari sistem kerja otak kiri dengan otak kanan?? atau mungkin juga, kelas saya sedikit ‘menyepelekan’ mata kuliah ini yang hampir tidak ada pengaruhnya terhadap jalannya suatu program yang kami buat. Sama halnya ketika SMA, saat pelajaran kewarganegaraan sedikit terpinggirkan di kalangan anak IPA. Sedangkan ketika si dosen mulai meberikan materinya, saya dan teman2 sekelas lebih banyak mendengarkan dari pada mencatat seperti apa yang temen2 kelas sejarah lakukan.

Pengaruh apakah itu?? Padahal jika boleh memilih, saya ingin ada di kubu lawan, masuk golongan teman-teman non eksak... *komunikasi*

1 komentar:

  1. huhuhu... ttg kawan2 yg
    suka eksak mmg kaga bs adapt dgn mudah di non eksak... wajar kykny deh...

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...